Kita hidup tidak harus selamanya tersenyum dan menghadapi
segala sesuatunya dengan senyuman. Ada kalanya kita harus bersikap
tegas. Berani berkata ‘ya’ atau ‘tidak’, serta ada saat-saat tertentu
di mana kita harus memvonis. Ada saatnya kita harus menentukan pilihan
yang serba sulit yang mengundang resiko yaitu mengorbankan alternatif
yang lain, dan terkadang sampai mengorbankan perasaan kita sendiri.
Mungkin saja selama ini kita selalu terbiasa memberikan kesempatan akan
suatu hal untuk dapat selalu memahami, mengerti, dan memaafkan atas
apa-apa yang tidak sejalan dengan nurani kita.
Sikap tegas bukan berarti marah. Sebab tegas dan marah tidaklah sama. Dalam ketegasan tidak diperkenankan adanya pihak yang merasa tertekan atau tersakiti. Melakukannya pun tidak dengan wajah yang geram. Harus selalu ada unsur keteduhan dalam pandangan ketegasan. Harus bisa, dan bahkan harus terselip makna senyum dalam sikap tegas itu. Makna senyum, dan bukan senyuman.
Sikap tegas bukan berarti marah. Sebab tegas dan marah tidaklah sama. Dalam ketegasan tidak diperkenankan adanya pihak yang merasa tertekan atau tersakiti. Melakukannya pun tidak dengan wajah yang geram. Harus selalu ada unsur keteduhan dalam pandangan ketegasan. Harus bisa, dan bahkan harus terselip makna senyum dalam sikap tegas itu. Makna senyum, dan bukan senyuman.
Ketegasan bukan berarti berkata kasar dan kotor. Seorang muslim tetaplah seorang yang harus bisa menjaga lidahnya. “Seorang mukmin itu tidak biasa mencela, bersumpah serapah, berkata kotor, dan berkata kasar.” (HR. Tirmidzi)
Sikap memvonis sangatlah perlu kita miliki dalam diri ini
sebagaimana yang pernah diteladani Rasulullah saat menjewer Anas bin
Malik. Ketika beliau menjumpai Anas yang tengah bermain dengan
anak-anak seusianya padahal ia tengah disuruh ke pasar oleh Rasulullah,
Rasul pun segera mendekatinya dan menjewer telinganya. Anas pun tidak
menangis karena ia tahu hal itu bukanlah kebiasaan Rasul. Dan begitulah
keteladanan yang telah diajarkan Rasul saat beliau merasa perlu untuk
berbuat tegas.
Kadang kita tidak terbiasa bersikap tegas dengan dalih tidak ingin
menyakiti perasaan orang lain atau karena merasa tidak enak. Padahal
pemaknaan yang salah akan menyebabkan sikap yang salah pula.
Untuk mempunyai sikap tegas, berani berkata atau melakukan sesuatu
demi kebaikan bersama, serta tega untuk memvonis pada saat yang tepat
diperlukan sebuah latihan. Perasaan yang tertekan di awal latihan adalah
hal biasa. Latihan menata kata agar tidak menyakiti, bahkan bisa
mengalirkan ketentraman. Agar orang tidak menjauh sekedar mendengarkan
ucapan yang keluar dari mulut dan tulisan kita. Latihan menyampaikan
kebenaran dengan cara dan niat yang benar. Sejak awal niat kita adalah
menyampaikan kebenaran dan bukan untuk menyiksa perasaan, mengalahkan
orang lain, menyebarkan aib, apalagi mengunggulkan diri sendiri.
Sikap tegas harus dilandasi ilmu dan dalil yang kuat dan akurat.
Sebab hal ini adalah masalah yang riskan terhadap perpecahan. Sekali
lagi ketegasan ini perlu dilatih terus hingga mencapai puncaknya
seiring dengan senyum. Karena memang hidup ini tidak semuanya bisa
selesai dengan senyum. Walau senyum juga adalah sedekah. Ada sisi
kehidupan yang mau tidak mau harus diselesaikan dengan sikap tegas,
tentunya dengan makna senyum dan kedamaian yang terselip di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar